Jakarta-Komnas HAM, 1 September 2022 – Sejak diluncurkan Resolusi PBB 26/9 tentang international legally binding instrument on transnational corporations and other business enterprises with respect to human rights pada 2014 lalu. Menjadi momentum penting dalam mengawal isu yang berkaitan dengan bisnis dan HAM, karena isu ini menjadi problem serius di tingkat nasional maupun akar rumput.
Dimana aktor korporasi transnasional menjadi aktor yang seolah-olah sulit tersentuh oleh hukum ketika melakukan pelanggaran HAM. Sedangkan posisi negara yang seharusnya menjadi pengawal utama dalam penegakan hukum dan HAM namun masih dilematis dalam penegakannya karena masih ada kekosongan hukum yang mengikat bagi korporasi transnasional.
Di Indonesia muncul satu inisiatif Indonesia Focal Point (IFP) for Corporate Accountability yang didorong inisiasinya oleh gabungan dari kelompok masyarakat sipil Indonesia untuk mengawal Resolusi PBB 26/9 tentang international legally binding instrument. Hingga kini, IFP ini masih terus konsisten dalam mengawal setiap prosesnya.
Namun, diperlukan dukungan dan konsistensi dari berbagai pihak dalam menegakkan aturan bisnis yang menghormati dan juga melindungi HAM. Termasuk diantaranya Komnas HAM yang memiliki peran strategis dalam mengawal isu UN legally binding on business and human rights hingga diratifikasi dan diimplementasikan di Indonesia. Mengingat dalam catatan pengaduan kepada Komnas HAM sepanjang 8 tahun terakhir yakni posisi KORPORASI terbanyak kedua yang paling banyak diadukan setelah institusi POLRI.
Karenanya, pada hari ini (1/9) tim Indonesia Focal Point for Corporate Accountability yang dihadiri oleh perwakilan dari Indonesia for Global Justice (IGJ), FIAN Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) dan Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS) melakukan audiensi dengan Komnas HAM dengan menyampaikan beberapa konsern diantaranya; mendorong Komnas HAM agar memperkuat komunikasi terkait isu UN Legally Binding Instrument (LBI) dengan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dalam memberikan masukan dalam proses di PBB, dan membangun anotasi atas teks LBI.
Kemudian, Komnas HAM perlu membangun kajian mengenai LBI dan prosesnya dalam kerangka konstitusi dan hukum Indonesia sebagai bagian dari masukan dan juga advokasi di Indonesia. Dan terakhir, menyelenggarakan pemantauan yang perlu untuk memberikan masukan, memperkuat, dan mengelaborasi proses LBI di Indonesia.
Catatan dari Tim IFP
Rahmat Maulana Sidik dari perwakilan IFP/IGJ memulai menyampaikan maksud bertemu dengan Komnas HAM diantaranya adalah untuk mengajak Komnas HAM memperkuat konsolidasi para pihak terutama pemerintah seperti Kementerian Luar Negeri dan Kemenkumham agar memiliki visi yang sama dalam melindungi HAM dari pelanggaran oleh pihak Bisnis TNCs yang semakin marak di Indonesia. Komunikasi yang kuat dan solid menjadi modal penting untuk memastikan pelanggaran HAM di Indonesia dari sektor bisnis TNCs dapat ditekan. Dalam Hal ini Maulana menekankan tentang pentingnya memperkuat masukan dari Indonesia pada proses selanjutnya di PBB terkait teks negosiasi seperti pengalaman Indonesia dalam mendukung konvensi di PBB terkait perlindungan HAM lainnya.
Selanjutnya juga menyampaikan aktivitas Koalisi IFP for Corporate Accountability mengawal proses negosiasi LBI on TNCs and Bussines Rights to respect Human Rights.
Hal ini dilakukan dengan memperkuat konsolidasi di level nasional, regional maupun internasional. IFP memandang penting untuk membangun kajian mengenai Binding Treaty dan prosesnya dengan konteks konstitusi dan hukum di Indonesia sehingga dapat dilakukan kolaborasi di bidang kajian dan advokasi bersama Komnas HAM.
Komnas HAM juga diminta untuk ikut melakukan pemantauan dalam kaitan memberikan masukan, memperkuat dan mengelaborasi LBI di Indonesia, sehingga penting adanya desk khusus terkait Bisnis dan HAM di Komnas HAM. Selain itu peran Komnas HAM di Internasional juga diminta semakin kuat terutama dalam memberikan perspektif di forum-forum internasional seperti pertemuan OEIGWG LBI on TNCs and Bussines Rights to respect Human Rights di Jenewa pada bulan Oktober 2022.
Peserta koalisi Sigit K. Boediono menambahkan tentang pentingnya komitmen dari Komnas HAM dan tindak lanjut konkrit dalam melakukan kolaborasi untuk terus mengawal isu bisnis dan HAM di Indonesia. Hal ini diperkuat oleh Gusti Nur Asla Shabia menyampaikan pelanggaran HAM di sektor bisnis semakin luas di Indonesia seperti proyek Food Estate yang sangat komersial dan contoh-contoh lain, ini perlu dikawal dan dipantau oleh Komnas HAM. Fikerman Saragih juga menambahkan pelanggaran HAM dari sektor bisnis di masyarakat pesisir dan nelayan juga mulai terjadi seperti pelaksanaan proyek reklamasi dan berbagai dampak eksploitasi perusahaan. Sudah saatnya isu aturan HAM yang ketat dan implementatif harus menjadi agenda penting dalam penegakan HAM di Indonesia. Di akhir Muslim Silaen dari IGJ menyambut baik jika Komnas HAM dapat melakukan beberapa aktivitas dalam memperkuat instrumentasi kebijakan di nasional paling tidak menjadi panduan bagi penegak hukum di Indonesia agar memiliki kesadaran atas prinsip HAM di sektor bisnis.
Respon dari Komnas HAM
Menanggapi maksud dari IFP, Komisioner Komnas HAM Beka Ulung Hapsara menyatakan bahwa lembaga pemantauan HAM ini hanya untuk memberikan kontrol kepada kebijakan pemerintah. Komnas HAM berkewajiban untuk memberikan masukan termasuk untuk memantau prinsip HAM di dalam bisnis di Indonesia. Karena, sifat lembaga sebagai pemantau maka kita juga memerlukan dukungan dari para pihak untuk memperkuat pelaksanaan prinsip HAM di Indonesia. Memang pada periode ini dan sebelumnya Komnas HAM masih cukup lemah dalam melakukan pemantauan dan analisis tentang tema Ham pada bisnis. Menanggapi maksud dari IFP, Beka menyatakan sangat mendukung dan siap untuk memberikan kontribusi dalam pemantauan Bisnis dan HAM terutama sebagaimana Maksud dari IFP untuk memberikan pengawalan pada LBI.
Dalam melakukan kontribusi konkrit, menurut Beka memang dibutuhkan kolaborasi dari semua pihak. Terutama mengintervensi forum-forum bisnis dan HAM di nasional dan internasional. Beberapa hal seperti pertemuan UPR pada bulan November 2022 penting menjadi bagian untuk memasukkan intervensi masyarakat sipil pada konsern isu Bisnis dan HAM. Kedepan, sepertinya Komnas HAM dan IFP serta CSO lainnya penting bekerjasama dan melakukan advokasi bersama. Hal itu dapat dilakukan melalui konsultasi publik, membuat kertas kerja terkait implementasi hingga melakukan workshop multipihak sehingga kedudukan binding treaty bisa diperkuat di nasional maupun internasional.
Anggota Koalisi IFP (Indonesia Focal Point for Corporate Accountability):
Indonesia for Global Justice (IGJ), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA), Indonesia Human Rights Committe for Social Justice (IHCS), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), FIAN Indonesia, Solidaritas Perempuan, KontraS, ELSAM, Lokataru, IILH-apintlaw.
Disusun oleh:
Rahmat Maulana Sidik, Direktur Eksekutif IGJ – rahmat.maulana@igj.or.id
Muslim Silaen, Program Officer isu Buruh dan Public Services – muslim.silaen@igj.or.id