Siaran Pers
Komite Pembela Hak Konstitusional
Jakarta 23 Agustus 2023, Proses persidangan Pengujian Formil Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi telah memasuki tahapan penyampaian Kesimpulan. Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) sebagai pemohon dalam perkara Nomor 46/PUU-XXI/2023 pada hari ini menyampaikan kesimpulannya.
Gunawan, Penasehat Senior Indonesia Human Right Committee For Social Justice (IHCS) menjelaskan, “Bahwa proses yang dilakukan organisasi masyarakat, sejak dari pengujian formil UU Cipta Kerja, Pemantauan Pelanggaran Putusan MK dalam Perkara Pengujian Formil UU Cipta Kerja, dan melaporkan hasil pemantauan tersebut lewat terobosan hukum Pengaduan Konstitusional ke MK, hingga pengujian formil UU Penetapan Perpu Cipta Kerja Menjadi UU, menunjukan bahwa rakyat melawan kesewenang-kesewenngan dalam proses pembentukan peraturan perundang-perundangan dan membela hak konstitusional warga negara dan mempertahankan Indonesia sebagai negara hukum,” kata Gunawan.
Pernyataan tersebut disampaikan Gunawan dalam agenda Konferensi Pers Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL) yang bertajuk “Kesimpulan Sidang Gugatan UU Perppu Cipta Kerja” pada Rabu, 23 Agustus 2023. Kegiatan yang dilaksanakan secara virtual melalui Zoom dan Youtube. Menghadirkan narasumber dari tim kuasa hukum, saksi dalam persidangan serta perwakilan pemohon dalam gugatan.
Sementara itu Janses E. Sihaloho, Koordinator Tim Advokasi Gugat Omnibus Law menegaskan, “Berdasarkan proses di persidangan, menunjukan tiada keraguan bahwa Pemerintah dan DPR telah melanggar Putusan MK dalam perkara pengujian UU Cipta Kerja, dan tidak bisa membuktikan hal ihwal kegentingan yang memaksa, sehingga seharusnya tiada keraguan bagi MK untuk memberi putusan UU Penetapan Perpu Cipta Kerja menjadi UU Inkonstitusional secara permanen,” tegas Janses.
Sri Palupi, Peneliti Senior mengulang materi kesaksian dalam sidang uji formil UU Penetapan Perpu menjadi UU beberapa waktu lalu. Ia mengatakan, “Faktanya tidak ada kebutuhan UU baru bagi pemerintah, karena UU Cipta Kerja faktanya tetap dijalankan pasca putusan MK. Pelaksanaan UU Cipta Kerja di lapang berdampak pada memperburuknya tata kelola hutan, melemahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan serta meningkatkan intensitas bencana dan perusakan lingkungan,” terang Palupi.
Dewi Kartika, Sekjend KPA, menyatakan, “UU Cipta Kerja meninggalkan legacy buruk sehingga memperburuk ketimpangan agraria, memperbanyak konflik agraria, dan bertentangan reforma agraria. Contohnya UUCK melahirkan Bank Tanah, yang hari ini telah beroperasi merampas tanah-tanah masyarakat, bahkan di lokasi yang hendak diredistribusikan kepada petani. Contoh lain operasi Bank Tanah di IKN yang dapat memberikan hak atas tanah selama nyaris dua abad (180 tahun) ini bahkan lebih buruk dari kebijakan kolonial,” kata Dewi.
“Peran MK sebagai penjaga konstitusi masih relevan digunakan sebagai jalur perlawanan UUCK. Sekaligus kita ingin menguji kembali apakah MK berani menegakan konstitusi kali ini dengan memutus uji formil UU 6/2023 bertentangan dengan konstitusi. Sehingga kami berharap MK mampu berlaku dan bertindak adil dalam memutuskan perkara ini,” terang Dewi.
Hal senada ditegaskan oleh Sunarno, Ketua KASBI bahwa, “UU Cipta Kerja tetap dilaksanakan pasca putusan MK, sehingga memperburuk situasi perburuhan. Pemberlakukan UU Cipta Kerja ini berdampak bagi perburuhan terutama hal-hal yang terkait dengan status hubungan kerja dan pengupahan juga semakin memperburuk keadaan,” tambah Sunarno.
Direktur IGJ, Rachmat Maulana S. menambahkan bahwa “Kami sadari awal melihat bahwa kehadiran UU Cipta Kerja cendrung dipaksakan.UU Cipta Kerja sesungguhnya adalah respon terhadap WTO yang meminta perubahan sejumlah UU terkait pangan, pertanian dan peternakan, bukan krisis ekonomi global,” ujar Maulana.
Adapun pokok-pokok Kesimpulan yang telah diserahkan kepada MK, berdasarkan fakta yang mengemuka di persidangan, analisa keterangan dari Presiden, DPR RI serta keterangan dari para Ahli maupun Saksi baik yang dihadirkan oleh Pemerintah dan Pemohon, adalah sebagai berikut :
- Bahwa Pemerintah dan DPR RI melanggar UUD 1945, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020
- Bahwa dengan menetapkan Perpu 2/2022 tanpa memenuhi prinsip, syarat/ketentuan dan tahapan pembentukan Perpu, Pemerintah telah melakukan praktek authoritarian legalism.
- Bahwa dengan menetapkan Perpu 2/2022 menjadi UU melalui UU 6/2023 Perpu Cipta Kerja DPR secara tidak objektif, tidak kritis dan analitik dalam melakukan fungsi pengawasan, sehingga terjadi autocratic legalism.
- Bahwa keterangan Ahli yang dihadirkan oleh Pemerintah, memiliki pemikiran hukum yang in konsisten dan tidak bersifat faktual, sehingga keterangan ahli tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan yang dapat menguatkan keterangan Pemerintah dan DPR RI.
- Bahwa Saksi yang dihadirkan oleh Pemerintah, tidak relevan dengan permohonan PARA PEMOHON yang menguji UU 6/2023 Perppu Cipta Kerja secara formil bukan materiil. Sehingga keterangan tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan menguatkan keterangan Pemerintah dan DPR RI.
- Bahwa para Ahli yang dihadirkan oleh PARA PEMOHON, telah memberi keterangan sejelas-jelasnya mengenai pelanggaran formil UU No. 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Perpu No. 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi UU.
- Bahwa tindakan Pemerintah dan DPR RI yang menetapkan Perpu Cipta Kerja sebagai Undang-Undang telah menimbulkan kekacauan sistem hukum Indonesia, memberikan contoh abuse of power dan pelanggaran hak konstitusional dan mengancam kedaulatan rakyat dan Negara Republik Indonesia.
Hormat Kami,
Komite Pembela Hak Konstitusional (KEPAL):
- Aliansi Organis Indonesia (AOI)
- Aliansi Petani Indonesia (API)
- Bina Desa
- Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB)
- FIAN Indonesia
- FIELD Indonesia (Yayasan Daun Bendera Nusantara)
- IHCS Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS)
- Indonesia for Global Justice (IGJ)
- Institute for Ecosoc Rights
- Jaringan Masyarakat Tani Indonesia ( JAMTANI)
- Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI)
- Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA)
- Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP)
- Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI)
- Sawit Watch (SW)
- Serikat Nelayan Indonesia (SNI)
- Serikat Petani Indonesia (SPI)
- Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)
- Muhammad Karim (perseorangan/akademisi)
Pusat Informasi KEPAL :
Hadi (0821-1513-4313)