Jakarta, 7 Desember 2023. Kami, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi (MKE), dengan ini mendesak Pemerintah Indonesia untuk menghentikan perundingan perdagangan bebas dengan Uni Eropa. dengan berpegangan pada prinsip- prinsip utama dalam kerjasama Internasional sesuai dengan Konstitusi. Indonesia-EU CEPA berpotensi bertentangan dengan prinsip pengutamaan perlindungan HAM, kedaulatan ekonomi rakyat, dan pemenuhan prinsip demokrasi.
Perundingan Indonesia-EU CEPA (IEU CEPA) telah memasuki putaran ke-16 (enam belas) yang dimulai sejak tahun 2016. Perundingan memiliki cakupan yang luas, tidak hanya tentang ekspor dan impor, namun termasuk merundingkan bagaimana kebijakan di Indonesia disesuaikan dengan kepentingan bisnis Uni Eropa. Ketentuan dalam I-EU CEPA berpotensi menggerus kedaulatan ekonomi rakyat dan menimbulkan dampak sosial dan HAM serta bertentangan dengan Konstitusi.
Berikut ini adalah “Red Lines” atau Batasan keras yang disusun oleh Koalisi sebagai desakan kepada Pemerintah Indonesia atas perundingan Indonesia-EU CEPA:
Prinsip Pengutamaan Kedaulatan Ekonomi Rakyat
Presiden Joko Widodo telah berkomitmen untuk merealisasikan transformasi ekonomi Indonesia dengan menciptakan ekonomi berdaya saing tinggi melalui agenda penghiliran industri nasional. Akan tetapi, deal yang akan dilakukan oleh Pemerintah Indonesia di dalam Indonesia-EU CEPA hanya kembali memfasilitasi dan memperkuat dominasi investasi dan monopoli korporasi multinasional untuk mengekstrak sumber daya ekonomi rakyat dan terus mendorong model pertumbuhan ekonomi bersifat ekstraktif.
Salah satu tujuan Uni Eropa mendesak perluasan Kerjasama perdagangan internasional dengan negara-negara ASEAN, Latin Amerika, dan Afrika adalah untuk mengamankan rantai pasokan sumber mineral penting untuk Pembangunan industrinya terutama sejak Komisi Uni Eropa mengeluarkan peraturan tentang EU Critical Raw Material Act (CRMA). Tentunya, Indonesia-EU CEPA akan mencakup ketentuan yang memfasilitasi kepentingan strategis EU tersebut agar dapat mengakses bahan baku penting di Indonesia. EU akan memerangi peraturan perdagangan yang “tidak adil” terkait mineral penting, khususnya penghapusan pembatasan ekspor mineral mentah yang selama ini diterapkan Indonesia. Hal ini berpotensi menghambat upaya Indonesia untuk memperkuat ruang kebijakan guna mendukung hilirisasi industri. Hal ini akan mendorong lebih banyak perluasan liberalisasi perdagangan dan investasi industri ekstraktif di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia, yang kaya sumber daya alam.
Koalisi MKE menilai bahwa agenda hilirisasi industri nasional yang ada hari ini hanya akan membuat perekonomian Indonesia Kembali ketergantungan. Untuk itu, Koalisi MKE mendesak Pemerintah Indonesia untuk memfokuskan pada Pembangunan yang berbasis pada ekonomi kerakyatan dan mengutamakan produksi rakyat sebagai aktor utama dari sebuah proses rantai produksi dari hulu hingga hilir. Keberhasilan agenda ini akan sangat bergantung penerapan beberapa kebijakan yang mendukung berkembangnya industri berbasis pada ekonomi kerakyatan di dalam negeri. Akan tetapi, perjanjian perdagangan internasional, khususnya Indonesia-EU CEPA, berpotensi memperlemah agenda Penguatan Industri berbasis ekonomi kerakyatan.
Untuk itu, Koalisi MKE berpandangan bahwa pembangunan ekonomi berbasis ekonomi kerakyatan hanya bisa dilakukan tanpa liberalisasi ekonomi yang dilegitimasi oleh perjanjian perdagangan internasional. Dan, sudah sepatutnya, rezim penguasa Indonesia pemenang Pemilu 2024 untuk tidak melanjutkan Indonesia-EU CEPA dan mereview Kembali seluruh perjanjian perdagangan internasional yang dimiliki Indonesia.
Berikut beberapa aturan Indonesia-EU CEPA yang harus ditolak dan menjadi dasar untuk menghentikan perundingan dan memperkuat industrialisasi berbasis ekonomi kerakyatan:
- Bab Hak Kekayaan Intelektual (IPR) dalam Indonesia-EU CEPA mencerminkan kepentingan UE dalam memberikan perlindungan terhadap monopoli teknologi dan
penemuan baru teknologi, termasuk kontrol distribusi dan harga akibat monopoli oleh korporasi multinasional. Dengan aturan ini Pemerintah Indonesia tidak dapat mengakses pengetahuan tersebut untuk kepentingan transisi industrinya di segala bidang, khususnya Kesehatan dan pertanian. Ketentuan tersebut hanya akan terus membuat ketergantungan Indonesia pada Uni Eropa sebagai negara asal korporasi multinasional tersebut. Bahkan, perlindungan IPR terkait dengan digital teknologi dilakukan melalui aturan kerahasiaan pemrosesan data melalui kode sumber (source code). Kode sumber (source code) dilindungi untuk aspek bisnis, bukan untuk keamanan dan keselamatan masyarakat. Kurangnya akses dan kontrol terhadap kode sumber memungkinkan banyak hal disembunyikan, termasuk pelanggaran dan aktivitas kriminal, seperti penggelapan pajak, persaingan tidak sehat, penambangan data ilegal, spionase, dan banyak lagi. Termasuk proposal Uni Eropa yang mendorong Indonesia untuk menerapkan ketentuan UPOV 1991 yang akan berpotensi mengancam hak-hak petani atas benih.
- Pengaturan persyaratan kandungan lokal industri di dalam Indonesia-EU CEPA tidak diperbolehkan. Padahal, peraturan tersebut merupakan instrumen penting untuk memastikan bahwa investasi yang masuk secara efektif berkontribusi pada lintasan pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan daya saing, nilai tambah industri lokal dan meningkatkan lapangan kerja lokal. Persyaratan kandungan lokal sangat penting untuk menjadi jalan pembuka untuk membangun industri rakyat di Indonesia.
- Liberalisasi pengadaan barang dan jasa pemerintah di dalam Indonesia-EU CEPA akan Kembali melemahkan peran industri lokal khususnya kelompok UMKM dalam agenda Pembangunan ekonomi nasional. Jika ini yang terjadi maka, aktor ekonomi rakyat akan terus tergerus kedaulatannya oleh praktek monopoli dan eksploitasi korporasi multinasional atas seluruh sumber daya ekonomi Indonesia. Bahkan, ketentuan ini telah menghilangkan ruang kebijakan penuh untuk memprioritaskan produksi lokal yang diproduksi oleh rakyat untuk memenuhi kebutuhan nasional dalam rangka mengurangi kemiskinan pedesaan dan meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan setempat.
- Privatisasi BUMN yang bergerak pada sektor layanan kesehatan, pendidikan, air bersih, dan energi (termasuk listrik) telah menimbulkan diskriminasi hak di masyarakat dan meningkatkan biaya yang hanya dapat diakses oleh kelompok kaya. Kesehatan, pendidikan, air, dan energi harus dikecualikan dari kewajiban liberalisasi dan privatisasi. Selain itu, layanan dasar publik harus dilindungi berdasarkan peraturan domestik yang melindungi terhadap liberalisasi sesuai dengan amanat Konstitusi.
- Kami juga khawatir bahwa bab mengenai Good Regulatory Practices/GRP dalam IEU CEPA akan membuat ‘proses penyusunan regulasi domestik’ menjadi lebih dipengaruhi oleh perusahaan-perusahaan UE untuk berpihak pada mereka dan bahkan mendorong untuk meninjau ulang, ataupun menghapus peraturan domestik yang ada. Bab yang diusulkan ini juga memerlukan perlakuan nasional & MFN/negara yang paling disukai dalam hal mengizinkan perusahaan dari seluruh dunia untuk mengomentari peraturan yang diusulkan dan Indonesia harus mempertimbangkan komentar yang diterima. Tentu saja, akan lebih banyak komentar/masukan/pandangan yang datang dari perusahaan multinasional dibandingkan UKM Indonesia karena perusahaan multinasional dan asosiasi industrinya memiliki lebih banyak sumber daya, dana, dan pengacara untuk menghasilkan komentar/pandangan, dll.
Prinsip Pengutamaan Perlindungan Hak Asasi Manusia
- Perundingan Indonesia-EU CEPA memprioritaskan Perlindungan Hak Pengusaha/Investor asing dibanding Hak Rakyat dan hal ini telah bertentangan dengan Konstitusi. Hal ini terlihat dari beberapa ketentuan yang diatur dalam perjanjian ini seperti: Pertama, Pemerintah Indonesia akan mendasarkan pengikatan komitmennya yang merujuk pada Undang-undang Cipta Kerja (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja No. 2 Tahun 2022) yang inkonstitusional ke dalam Indonesia-EU CEPA. Peraturan ini juga memfasilitasi akses dan ekstraksi sumber daya alam oleh investor, eksploitasi tenaga kerja dan pasar dalam skala yang lebih besar, tanpa menjamin perlindungan hak asasi manusia, lingkungan hidup, atau komitmen terhadap keadilan ekonomi. Untuk itu, Indonesia-EU CEPA hanya akan kembali melegitimasi kemerosotan perlindungan
HAM untuk rakyat baik di Indonesia maupun di Uni Eropa; Kedua, Bab Investasi dan perlindungannya mengatur mekanisme penyelesaian sengketa penanaman modal yang masih menganut konsep mekanisme penyelesaian sengketa antara negara dan investor (ISDS). Mekanisme ini hanya akan memberikan hak kepada investor untuk menggugat negara, khususnya Indonesia, ketika kebijakan nasional dianggap merugikan kepentingan mereka. Untuk itu, Pemerintah Indonesia dan DPR RI harus menghentikan perundingan dan menghitung dampak luas yang akan ditimbulkan dari aturan Indonesia-EU CEPA kepada kehidupan rakyat.
- Perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI), proposal EU dalam CEPA akan memperkuat dan memperlama monopoli perusahaan farmasi multinasional atas obat-obatan sehingga akses, ketersediaan dan keterjangkauan hak dasar rakyat Indonesia khususnya akses obat akan memburuk. EU juga terus berupaya melemahkan bahkan menghilangkan hak hak petani atas benih dengan memaksakan kebijakan perlindungan varietas tanaman sesuai kepentingan perusahaan multinasional di Industri pertanian dan kimia.
- Pemerintah Indonesia, sebagai negara yang secara konsisten menyuarakan penghentian genosida Israel di Gaza dan perjuangan kemerdekaan rakyat palestina, tidak boleh merasa merundingkan perjanjian dengan negara yang berlumuran darah anak-anak, perempuan, dan seluruh rakyat Palestina. Pemerintah Indonesia harus segera menghentikan perundingan Indonesia-EU CEPA sebagai bagian dari aksi solidaritas kemanusiaan terhadap Rakyat Palestina dan mendesak Uni Eropa ikut bertanggung-jawab terhadap kejahatan kemanusiaan tersebut. Standar ganda Uni Eropa dalam perlindungan HAM tidak bisa diterima.
Prinsip Pengutamaan Pelaksanaan Demokrasi Sejati
Indonesia-EU CEPA telah memperdalam krisis demokrasi akibat tidak adanya transparansi isi teks perundingan dan partisipasi publik di dalam proses perundingan. Hal ini tentu mencederai proses demokrasi terlebih perundingan I-EU CEPA akan berdampak langsung pada masyarakat luas. Bahkan, isinya yang sangat komprehensif sangat berpotensi berdampak terhadap pemenuhan hak dasar publik oleh negara. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka sangat fundamental bagi Pemerintah Indonesia dan DPR untuk mengambil keputusan mengenai I-EU CEPA secara demokratis sebagaimana mandat UUD RI 1945 untuk menyetujui atau tidak menyetujui Indonesia-EU CEPA untuk diratifikasi oleh Indonesia.
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 tentang UU No.24 Tahun 2000, yang dimenangkan oleh Koalisi untuk Keadilan Ekonomi, telah menyebutkan “perihal dalam hal apa atau dalam keadaan bagaimana suatu materi perjanjian internasional menimbulkan akibat yang luas dan mendasar yang terkait dengan beban keuangan negara dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, hal itu tidak dapat ditentukan secara limitatif melainkan harus dinilai secara kasuistis”. Interpretasi dari Putusan MK ini memandatkan DPR RI untuk melakukan penilaian dampak ekonomi, sosial, dan HAM, sehingga segala keputusan untuk menyetujui atau tidak menyetujui meratifikasi suatu perjanjian internasional harus dilakukan sesuai dengan mandate Konstitusi kepada DPR RI.
Narahubung:
Rahmat Maulana Sidik (0812-1002-5135)
Olisias Gultom (0882-9829-3959)